Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Indonesia Akan Kehilangan Satu Generasi Petani ?
DIALOG Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para petani dan nelayan pada acara Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (11/6), berlangsung santai dan akrab. Tidak seperti masa Orde Baru yang serba diatur dan diarahkan, kali ini siapa pun boleh mengacungkan tangan dan bebas mengajukan pertanyaan.

Majulah ke depan Bapak Oyo Sunarya petani dari Jawa Barat. Dengan suara lantang, Pak Oyo Sunarya mengungkapkan keprihatinannya karena minat pemuda terhadap pertanian semakin berkurang, bahkan dikhawatirkan Indonesia bakal kehilangan satu generasi di sektor pertanian. Dia menyarankan pertanian diperkenalkan mulai sekolah dasar.

Pak Oyo Sunarya juga mengeluhkan kacaunya lembaga penyuluhan yang dulu sangat efektif untuk menyebarkan pengetahuan tentang pertanian dan menjadi tempat bertanya jika petani kebingungan. Kemampuan sumber daya petani juga diminta untuk ditingkatkan. Petani jangan lagi dipermainkan dengan banjirnya produk impor. Selain itu, infrastruktur irigasi perlu diperhatikan karena banyak yang rusak parah.

Presiden Yudhoyono pun langsung menjawab, penyuluh pertanian akan dihidupkan kembali. Menjadi petani dan nelayan adalah profesi yang mulia. Di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, petani dan nelayannya sangat bangga dan dibanggakan. Depdiknas dan para pemimpin daerah akan diminta memperhatikan pendidikan pertanian.

Yudhoyono mengakui, selama tujuh tahun masa krisis, pembangunan infrastruktur tidak memadai, termasuk jalan dan irigasi. Sektor ini akan diperbaiki secara bertahap, karena biayanya sangat besar. Jika menguntungkan bisa mengundang investor.

“Tata niaga hasil pertanian, terutama impor, harus diatur dengan baik agar tidak mematikan petani. Karena ada perjanjian dan kerja sama global, maka ekspor dan impor tidak bisa dihindari, tapi petani tidak boleh dirugikan. Penyelundupan juga harus terus dilawan!” ujar Yudhoyono disambut tepuk tangan keras lebih dari 1.000 undangan yang sebagian besar petani dan nelayan.
Lanjutan (Indonesia akan kehilangan satu generasi petani ? )

Kemudian maju ke depan Bapak Chatib Muhamad yang mengaku petani kehutanan dari Jawa Tengah. Dia menyatakan sangat bangga dengan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang mau mendengarkan suara rakyat. Namun Bapak Chatib mengaku masih belum puas karena banyak masalah yang belum diselesaikan dengan tuntas, seperti kasus korupsi dan kolusi, termasuk penyelewengan dan pungutan liar.

Presiden langsung pula menjawab, menjadi pemimpin di negeri ini harus rajin bertemu dan berdialog dengan rakyat, bahkan kalau perlu bermalam di desa-desa agar mengetahui kondisi rakyatnya, termasuk yang kekurangan pangan dan gizi. Pejabat, jangan terlalu sering ke luar negeri tetapi harus sesering mungkin dekat dengan rakyat.

Bapak Arum Sabil, pengurus organisasi di sektor perkebunan, mendapat giliran bertanya kepada Presiden. Bapak Arum meminta pemerintah bertindak tegas terhadap “teroris” ekonomi, yakni para koruptor dan penyelundup. Semua pihak jangan mengidentikkan petani dengan kekumuhan dan kebodohan, sehingga membuat petani semakin minder dan terpuruk.

Bapak Arum mengeluhkan tata niaga yang sering kacau, sehingga petani sulit memasarkan hasil pertanian terutama di saat panen. Ada oknum yang melakukan penyelewengan dalam tata niaga, namun tidak pernah ditindak. Peraturan yang merugikan rakyat harus dihentikan.

Menjawab itu, Presiden kembali meminta petani jangan rendah diri, dan harus diajak serta dalam pertumbuhan. Kebijakan yang tidak tepat akan diperbaiki dan harus menguntungkan semua pihak. Yudhoyono berjanji akan mengubah yang tidak benar dan menindak yang salah. Dia juga membuka hotline pengaduan melalui sms ke nomor HP 0811109949.

Seorang perempuan yang mengaku bernama Ibu Peni Santi, yang bergerak di usaha perikanan, tampil ke depan. Dia mengajukan permintaan, antara lain ketegasan batas-batas wilayah laut, juga perlunya peralatan canggih agar nelayan Indonesia tidak selalu kalah bersaing dengan nelayan asing. Bahkan ekspor ikan hias Indonesia diatur oleh Singapura, sehingga yang diuntungkan justru negara lain, sementara nelayan Indonesia tetap miskin.

Presiden berjanji segera membenahi masalah itu, dan kembali menyinggung adanya “penyakit” yang belum menghilang dari Indonesia, yaitu harga-harga produk ekspor menjadi mahal sehingga tidak bisa bersaing dengan negara lain karena adanya kongkalikong, serta maraknya korupsi dan kolusi yang menghambat kemajuan dan merugikan rakyat.

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed